Jumat, 28 Juli 2017

METODE TAHFIDZ AL-QUR'AN UNTUK ANAK SD/MI




Menjadi guru al-Quran bukanlah hal yang mudah, karena selain kita dituntut untuk memperbaiki kualitas bacaan dan hafalan santri, kita juga dituntut untuk memberikan contoh pada mereka. Jangan sampai kita memberi tugas hafalan atau murojaah al-Quran ke murid namun kita sendiri tidak melaksanakan atau melarang sesuatu tapi kita menjadi orang pertama yang melanggarnya.


Setelah poin di atas sudah diamalkan maka kita bisa langsung menerapkan metode tahfidz Al-Quran untuk anak TK, TPA dan SD. Bagaimana metodenya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya baca dulu artikel sebelumnya, cara mengajarkan anak dengan metode yang tepat untuk anak usia dini, sebab artikel ini hanyalah pelengkap dari pembahasan tersebut.

Macam-Macam Metode Tahfid

 
Saat guru mengajarkan al-Quran pada anak kadang dia harus mencari cara yang sesuai dan cocok untuk muridnya. Misalnya dia harus berhalaqoh, menghafal bersama dan lain sebagainya. Nah, dari situlah muncul metode-metode yang kemudian metode tersebut diistilahi atau dinamai. Salah satu nama metode-metode yang saya tahu adalah, metode taqdim, metode mudhaharah, metode takrir, metode quesioner dan metode baidhawiy serta metode mutabaah.

Masyaallah, ternyata ada banyak sekali metode pembelajaran hafalan al-Quran. Bagi saya, istilah-istilah seperti ini malah membuat para guru jadi bingung, sehingga ia tidak konsisten dalam menjalankan metode pengajaran al-Quran untuk anak. Maka tidaklah heran apabila ada pertanyaan, "metode mana yang paling baik? Mana yang terbaik di antara metode-metode tahfidz di atas?"

Silahkan antum buang dulu kebingungan-kebingungan di atas, karena sebenarnya mengajarkan hafalan al-Quran untuk anak-anak di sekolah negri SD, atau lembaga Islam seperti SDIT tidak lah serumit yang kita bayangkan. Maka di sini saya akan memberikan tips dan cara yang cocok dan mudah untuk anak, bahkan balita.

Metode yang akan saya bagikan ini sudah dipraktekan oleh saya di Kuttab al-Fatih, bahkan semua guru di sana juga memakainya sebab seluruh guru quran sudah diseragamkan untuk menggunakan satu metode, entah itu metode Tahsin quran maupun Hafalan. Alhamdulillah, dengan itu kualitas bacaan dan hafalan anak di sana sungguh luar biasa (penilaian pribadi), bahkan sudah mengalahkan kualitas bacaan saya dulu ketika lulus SMA di pesantren. Wah jujur banget.

Hanya Satu Metode Tahfidz untuk Anak SD, yaitu Metode Kemampuan

Namanya aneh kan? Ini memang aneh, jadi harap maklum. Karena sebenarnya penamaan metode kemampuan ini hanya akal-akalan saya saja. :). Untuk nama aslinya malah kurang tau. atau mungkin belum ada namanya.

Maksud metode kemampuan adalah, sebelum sang guru mengajarkan hafalan al-Quran anak, dia harus mengukur kemampuan si anak terlebih dahulu. Apabila anak belum mampu maka kita akan menggunakan metode takrir, namun, jika sudah mampu dari segi kualitas bacaan, baik tajwid maupun makhraj maka bisa menggunakan Metode Mutabaah (Kalau kaya gini caranya, sama saja 2 metode). Bagaimana cara mengukurnya? Pertanyaan ini sangat penting sekali.

Cara Mengukur si Anak, Menggunakan Metode Takrir Karena Belum Mampu 


Seperti apa sih, anak yang belum mampu itu? Dia adalah anak yang belum bagus kualitas bacaannya baik dari segi makharijul huruf, mad (panjang pendek), ghunnah dan kelancaran. Biasanya anak ini belum bisa membaca al-Quran, atau dia mengaku sudah bisa baca namun ketika dites si anak belum bisa membedakan mana yang (ذ) dan (ز) kemudian (ها) dengan (ح) atau suka terbalik-balik, atau panjang pendeknya salah-salah dan masih banyak lagi yang lain.

Yang lebih penting, umur bukanlah peran utama dalam standar kemampuan, karena ada juga yang masuk kelas 4 SD namun kemampuan bacaannya kurang. Maka dalam hal ini membutuhkan guru yang benar-benar paham ilmu tajwid dan tahsin. Oh maaf, bukan hanya paham ilmunya tapi bisa juga mempraktekannya. Apabila sudah diketahui ukurannya, maka bisa langsung menggunakan metode takrir atau baghdadiyah.

Apa Itu Metode Takrir?

Pengertian metode takrir adalah: guru membacakan ayat yang mau dihafal di depan anak-anak, dengan makhraj dan tajwid yang sesuai, bagus dan mantap. Kemudian setelah itu anak disuruh menirukan bacaan gurunya tersebut sampai anak yang di dalam kelas tersebut hafal semua dengan bacaan yang bagus, baik sisi ghunnah, mad dan makhraj.

Kesalahan para guru biasanya terjadi ketika dia mengajar kelas yang isinya murid baru semua. Lalu ditanya oleh ustadznya, "Nak, bisa baca Quran belum?" lalu muridnya menjawab, "Sudah tadz, saya ngaji di TPA sudah sampai surat an-Naba" kemudian gurunya langsung menilai bahwa dia mampu, padahal belum mengujinya.

Kita harus tahu bahwa sebelum dia masuk ke lembaga kita, para murid baru memiliki riwayat hidup yang tidak sama (dalam masalah ngaji). Misalnya si A belajar ngaji di TPA situ, dan si B belajar ngaji di TPA sini. Nah, kita juga tidak tahu kemampuan guru-guru sebelumnya.

Maka dari itu, kami sarankan kepada setiap lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pembelajaran tahfidz al-Quran, harus menyeragamkan bacaan dan tahsin para guru dan menyeragamkan standar kualitas bacaan dan hafalan para guru. Supaya jika suatu saat guru tersebut ditukar dengan kelas lain, maka standar bacaannya akan sama. Lalu, bagaimana cara menyeragamkannya? Insyaallah mudah.

Saran berikutnya adalah, sebaiknya masalah makharijul huruf si anak harus diselesaikan di tahun pertama atau ke dua. Karena, lebih baik selesai di awal, dan setelah itu anak bisa fokus menghafal dengan kualitas hafalan yang bagus daripada di tahun pertama kita mengejar target banyaknya hafalan namun makhraj anak-anak masih jelek, sehingga kualitas hafalannya juga jelek, bahkan bisa di bawa sampai dewasa umur 25 tahun. Hal ini sama saja 25 tahun mengurus makharijul huruf??!! Pilih 1/2 tahun atau 25 tahun?

Jika Sudah Mampu maka Sudah Bisa Menggunakan Metode Mutaba'ah.

Apa Itu Metode Mutabaah?

Metode mutabaah adalah satu dari macam-macam metode tahfidz al-Quran anak yang kita kenal. cara kerjanya adalah:

Anak diperintah menghafal mandiri, sebab kita sudah percaya pada si anak atas kemampuan bacaannya. Namun, menghafalnya bukan di sekolah atau halaqoh, tapi di rumah. Kemudian besoknya si anak menyetorkan hafalan barunya kepada sang guru. Setelah si anak menyelesaikan setorannya, ustadznya langsung mencatat jumlah ayat, dan hasil hafalannya di buku mutaba'ah.

Metode ini membutuhkan ketegasan sang guru, bagaimana si anak nanti melaksanakan amanahnya. Dan juga ketegasan dalam membenarkan makharijul huruf nya saat menyimak

Selasa, 25 Juli 2017

SANTRI, NGOPI, NGAJI & KITAB KUNING

Berbicara soal santri tidak akan ada habisnya, pasalnya santri adalah mahkhluk yang istimewa yang diberikan keunikan tersendiri oleh Allah dibandingkan makhluk yang lain. Bagaimana tidak, semakin lama nyantri seseorang tidaklah menjadikan seseorang itu sombong akan tetapi malah menjadi semakin tawadhu’ bisa di ibaratkan bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, bukan semakin berisi malah semakin jadi.
            Hal yang palik unik bagi seorang santri adalah ketika diberi cobaan berupa Gudigen atau penyakit gatal gatal, banyak santri yang menafsirkan hal itu adalah salah satu bentuk cobaan santri yang lagi bertransisi dari tidak betah menjadi betah dipondok, karena ketika seorang santri menyerah maka jalan yang dipilih adalah pulang kerumah, uniknya ketika santri pulang penyakit itu justru sembuh tetapi ketika kembali ke pondok justru malah penyakit itu kembali seperti semula.
            Banyak orang yang pesimis terhadap kontribusi santri bagi masyarakat ketika nanti terjun ke masyarakat, terutama orang tua yang tidak pernah mengenal dunia pesantren atau tidak tahu seluk beluk sebuah pesantren, mereka menganggap seseorang dipondokan nantinya mau menjadi apa? Dan anak istri mau dikasih makan apa? Oleh karena itu orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak dengan pendidikan yang setinggi-tingginya harapanya agar nanti anak dapat pekerjaan yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan seseorang yang hanya berstatus sebagai santri.
            Padahal sejatinya ketika seseorang dipondokan atau hidup di pesantren, maka secara tidak langsung meraka telah bereinkarnasi menjadi manusia yang lebih baik dihadapan tuhan maupun sesamanya. Santri akan diajarkan bagaimana caranya berbuat baik terhadap sesamanya, Akhlak dan sopan santun kepada yang lebih tua maupun yang seumuran denganya, selain itu santri juga diajarkan cara berbisnis, berwirausaha dan belajar mandiri.
            Banyak hal yang dibebankan kepada santri selain ngaji, berwirausaha maupun belajar mandiri, bahkan ada sebuah pepatah mengatakan “santri itu Ngaji, Ngabdi, Rabi” semua itu harus dilakukan dengan hati yang ikhlas dan senang hati, karena santrilah yang akan menjadi garda terdepan bangsa ini, santrilah yang akan menjadikan Indonesia ini sebagai negara kesatuan yang utuh dan mendapatkan maghfiroh Allah ta’ala, menjadikan bumi pertiwi ini sebagai Negara yang baldatun thayyibatun warobbun ghofur yaitu dengan cara membaca atau Istiqomah melantunkan doa Mujahadah setiap Maghrib dan ba’da subuh untuk kedamaian negara tercinta kita.
            Kitab kuning adalah hal yang wajib dalam Pesantren Salaf seperti halnya Pondok pesantren Al – Luqmaniyyah Yogyakarta, Kitab kuning merupakan sebuah sistem pengajian atau kajian untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. denganya santri diajak untuk menjadi teman yang selalu sabar meghadapinya, bahkan banyak hal harus dilalui untuk bisa menjadi teman yang   akrab dan menjadi teman yang menyenangkan, seorang santri harus melalui banyak cara dan banyak menghabiskan waktu untuk bisa membaca kitab kuning, yaitu diawali dengan menghafal kitab kitab dasar seperti jurumiyyah Jawan, Jurumiyyah, Imrithy, dan terakhir kitab Alfiyyah Ibnu Malik. Semua itu adalah proses yang sangat panjang, bahkan senang ataupun sedih banyak dilalui bersamanya.
            Menjalani hidup dipesantren mulai  dari Senang dan sedih bersama kitab kuning tidaklah terlepas dari teman sejolinya yaitu “Rokok dan Kopi” hal itu adalah kenikmatan yang tiada tara, karena dengan demikian banyak inspirasi yang tiba tiba muncul dan menjadi penyemangat dalam mempelajari kitab kuning, kalau pepatah mengatakan Ngaji tanpa kopi bagaikan Teh tanpa gula, terasa namun tak manis.

            

Jumat, 21 Juli 2017

KUTEMUKAN DAMAI DALAM MENULIS

Jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul dua belas malam. Suasana kamarku sudah sepi. Semua teman di kamar sudah dulu menikmati malamnya dengan bantal dan alas seadanya. Sedangkan beberapa santri di depan gerbang pesantren sedang menjalankan ronda malam. Bertemankan suara jangkrik yang selalu setia menemani. Aku masih berada di dalam kamar. Duduk sendiri. Sepi. Menghadap laptop ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin. “Apa yang akan kamu rencanakan, wahai diri?,” batinku bertanya. “Ingin mengukir sejarah…”, suara batinku pun menjawab dengan yakin.
Detik demi detik berlalu. Namun tak satu kata, bahkan huruf pun tertulis pada laptop di depanku. Jari jari tangan seakan kaku . Enggan diajak menari di atas keyboard yang menanti. Mulut yang sesekali menguap, menandakan malam semakin larut. Mata pun seakan ingin terpejam, memulai berpetualang ke alam mimpi. Tubuh ini seakan tak berdaya lagi. Tetapi  tiba-tiba kaki mengajakku untuk melangkah menuju kran yang berada di pojok asrama. Aku membasahi muka dan kepala serta anggota tubuh yang lain. Air wudlu membuatku kembali bergairah. Kembali kuhampiri laptopku. Kemudian menyeruput sedikit kopi disampingnya.
Entah mengapa malam ini rasanya tak seperti biasanya, hambar. Tak ada rasa dan selera. Entah mengapa. Ah, rasanya aku adalah makhluk paling aneh dan bodoh di dunia ini. Menatap layar kosong. Putih, tanpa sepotong huruf pun menghias layar laptop. Aku ingin berdamai dengan waktu dan suasana. Ingin kembali bergairah walau hanya sesaat. Ingin meluapkan semua yang terpendam dalam otak. Menulis. Ya. Menulis. Tepatnya menyelesaikan tugas menulis dari seseorang yang memiliki banyak ilmu menulis pada acara beberapa hari yang lalu.
Lima menit berlalu. Namun, masih saja aku terpaku. Bagai mulut yang membisu dan tubuh yang lumpuh. Aku ingin berdamai dengan keadaan yang sedang menerpaku saat ini. Ya Allah.... Apa dosaku? Hingga aku seakan seperti seonggok batu tak berharga di hadapan-Mu. Kurang bersyukurkah diri ini? Terlalu banyak mengeluh dengan semuanya. Ampuni hamba ya Robb.... Ampuni, hapuslah segala dosaku. Jadikan aku orang yang selalu dalam jalan-Mu.
Kembali kucoba gerakkan jari tangan ini di atas keyboard, menarikan gerakan dan gaya layaknya seorang penulis. Memantapkan hati serta pikiran, fokus pada satu titik untuk menggali pikiran dalam otak. Kuaduk-aduk serta kukorek habis setiap sudut ruang kepala ini. Ingin kukeluarkan dalam bentuk kata-kata. Hingga... Ah, sama saja. Masih belum bisa bahagia dengan kata-kata. Tetapi biarlah. Mungkin sang waktu yang dalam genggamanNya lah penentu semua itu.
Lalu kucoba, dan terus kucoba… biarkan ini semua mengalir begitu saja…
Menulis. Satu kata ini masih saja selalu hadir dan menjadi bayang bayang semu dalam setiap langkah perjalanan hidupku. Ada apa dengan satu kata ini? Ah, mungkin aku saja yang terlalu lebay dengan satu kata ini. Lalu apa yang disebut menulis itu? Menulis bagiku adalah seni kreatif untuk merangkai kata dengan indah. Atau seni dalam mengungkapkan perasaan dan segala apa-apa yang ada dalam benak hingga mudah untuk dipahami dan diresapi.
Sedangkan istilah damai sendiri biasanya dipakai untuk istilah ketika peperangan. Ketika sudah tak ada lagi saling menembak maupun menyerang. Inilah namanya damai. Dalam pengertianku sendiri, damai adalah perasaan yang tenang dalam diri. Tak ada gundah gulana melanda. Gelisah ataupun resah enyah, pergi entah kemana. Tak ada lagi “perang” dengan keadaan.
Menulis. Baiklah, aku akan sedikit berpendapat mengenai satu kata ini. Juga terkait dengan judul yang telah tertulis di atas. "Kutemukan Damai dalam Menulis". Mengapa bisa damai dengan menulis? Damai dengan menulis di sini dimaksudkan sebagai perasaan bahagia atau lega ketika berhasil mengeluarkan resah dan gundah gulana dalam hati maupun ide-ide yang menumpuk dan berserakan dalam pikiran.
Ibarat sebuah rumah yang dipenuhi barang-barang bekas, tentu akan sempit bila tak dikeluarkan atau sekalian dijual di toko online, sehingga penghuninya merasakan sesak dan sempitnya ruangan di dalam rumah. Dengan mengeluarkan barang-barang bekas tadi menjadikan penghuninya lega dan tidak lagi merasa pengap di dalam rumah. Inilah mengapa dengan menulis itu dapat membuat hati menjadi plong serta bahagia. Inilah sampah berharga yang perlu dikeluarkan dan dikembangkan dari dalam otak.
Masih berkaitan dengan menulis dapat menimbulkan kedamaian dalam diri seseorang. Aku pernah sedikit membaca sebuah artikel di internet yang membahas mengenai manfaat menulis sebagai terapi. Menulis ekspresif atau menulis dengan menumpahkan semua perasaan yang ada pada diri terbukti dapat menurunkan stres pada seseorang. Dengan menuliskan perasaaan yang sedang dialami, seseorang akan merasa menjadi lebih baik, serta perasaan dan pikiran menjadi jernih. Penelitian ini telah dilakukan oleh Karen Baikie, seorang clinical psychologist dari University of New South Wales bahwa menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik dan penuh tekanan dapat memperbaiki kesehatan fisik dan jiwa.
Pada penelitiannya, Baikie meminta partisipan untuk menuliskan 3-5 peristiwa yang penuh tekanan dalam waktu 15-20 menit. Hasil studi ternyata menunjukkan, mereka yang menuliskan hal-hal tersebut mengalami perbaikan mental dan fisik secara signifikan dibandingkan mereka yang menulsikan topik-topik netral. Menurutnya, menulis dalam jangka panjang dapat mengurangi kadar stress, meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, mengurnagi tekanan darah, memperbaiki fungsi paru, meningkatkan mood serta mempercepat waktu perawatan di rumah sakit.
Dalam ilmu psikologi, menulis merupakan aktivitas otak kiri yang berkaitan dengan analisis dan rasional. Menulis dapat melatih otak kiri, sehingga otak kanan akan bebas mencipta, mengintuisi, dan merasakan. Sehingga dengan menulis ini dapat menyingkirkan hambatan mental bagi penulisnya serta memungkinkan untuk memahami diri, orang lain, serta dunia sekitar dengan lebih baik.
Terapi menulis juga dilakukan oleh mantan Menteri BUMN yang juga pemilik media nasional Jawa Pos, Dahlan Iskan. Ia berani menulis di saat sedang menjalani transplantasi dan kemoterapi, bahkan hingga menerbitkan satu buku. Sebuah buku dengan judul “Gagal Hati” terbit pada tahun 2008, saat itu ia sedang menjalani operasi cangkok hati di China. Ia menuliskan pengalaman dan apa yang dirasakannya saat itu. Meski dalam dunia kedokteran belum merekomendasikan terapi menulis untuk penyembuhan ini. Karena memang belum teruji secara medis. Namun yang dilakukan seorang Dahlan Iskan ini merupakan pengalaman pribadinya yang baik untuk ditiru orang lain. Masalah kesembuhan tentulah yang maha menyembuhkan yang menentukan.
Dari penelitian yang dilakukan Karen Baikie dan pengalaman unik Dahlan Iskan di atas dapat diambil sebuah pelajaran dan kesimpulan bahwa memang menulis itu banyak sekali manfaatnya. Salah satunya dapat menekan stress dan membuat perasaan menjadi damai. Dengan menuliskan dan membahasakan dengan kata-kata yang baik mengenai apa yang terserak dalam otak atau yang masih terpatri dalam hati akan membuat bahagia serta perasaan menjadi damai. Itu sedikit pengalamanku tentang bagaimana dapat merasa damai dengan aktivitas menulis. Dengan menulis dapat menghilangkan gelisah dan dapat menambah gairah.
Jadi, tunggu apalagi. Menulislah mulai detik ini juga !! Dimulai dari menulis diary yang dapat memmbahagiakan diri sendiri hingga dapat menulis di media massa dan buku yang dapat mempengaruhi dunia serta membahagiakan orang lain !
Salam damai ! Jangan lupa untuk menulis. Karena penulis bukan saja tugas seorang jurnalis melainkan bagi siapa saja yang mampu dan mau menulis. Karena dengan menulis dapat membuat hati menjadi damai. Salam sukses dan terima kasih untuk Jenius Writing Class dengan jurus-jurus ampuhnya.... semoga dapat selalu menginspirasi para santri di negeri ini.


Oleh : Kang CHARISMANTO

Minggu, 06 November 2016

MENJAGA HUBUNGAN JARAK JAUH



Masih hafal dengan sepenggal bait alfiyyah ibnu malik diatas? Lantas muncul pertanyaan, apa hubunganya bait diatas dengan menjaga hubungan jarak jauh? Nah menurut analisa penulis bait diatas sangat berkaitan erat dengan menjaga hubungan jarak jauh.
Bait-bait alfiyyah ibnu malik memang terkenal menggambarkan filosofi kehidupan nyata di masayarakat, baik  di pondok pesantren maupun dalam masyarakat luas tergantung seseorang mencocokanya, kalau orang yang gak ngeh, mungkin tidak akan nyambung dengan yang dimaksudkan dalam bait tersebut, pasalnya bait-bait dalam kitab alfiyyah

MOTIVASI SANTRI



Motivasi juga bisa membuat seseorang menjadi tenang dan terpacu untuk menjadi lebih baik. Kata motivasi hidup sangat bermanfaat ketika anda sedang terpuruk karena di dalam kata motivasi hidup banyak sekali penyemangat agar anda bangkit. Dengan kehiduapan yang baik dan layak pastinya setiap individu akan merasa pusa dan bangga, namun kembali lagi ke pribadi diri sendiri walaupun sudah sering kali mengikuti acara seminar motivasi maupun diberi motivasi oleh orang hebat jika keinginan tersebut tidak berasal dari diri sendiri maka hasilnya sama saja kosong.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Spirit “Mondok” sebagai Strategi Tekan Radikalisme

Sulit terbantahkan kesimpulan yang menyebutkan bahwa institusi pesantren cukup besar kontribusinya dalam mewarnai perjalanan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Pasalnya, lembaga yang ada cukup lama mengiringi perkembangan Islam di Indonesia telah memberikan nuansa cara pandang tertentu umat Islam dalam memahami agamanya di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, dan karakternya berbeda dengan masyarakat Arab sebagai tempat kelahiran Islam.

Untuk itu, mengabaikan peran kultur pesantren dalam kehidupan berbangsa dan beragama sama dengan melupakan sejarah. Lupa atas sejarahnya sendiri niscaya menjadi sebab seseorang akan kehilangan identitasnya. Akibatnya, seseorang akan lebih senang nilai-nilai lain yang beda, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kultural yang telah dititahkan oleh para pendiri bangsa, yakni titah yang mampu menciptakan harmoni antara nilai-nilai normatif Islam dengan visi kebangsaan seperti penerimaan atas Pancasila.

Bila dikaitkan dengan hal ini, maka masih maraknya pandangan dan sikap radikal dipastikan bagian dari usaha mengabaikan –bahkan melupakan—peran-peran pesantren yang cukup lama membumikan visi keislaman yang moderat dan toleran di negeri ini. Parahnya, kelompok-kelompok radikal ini dengan mudah belajar Islam dengan seenaknya dan dengan cara-cara yang serba instan. Padahal, untuk memahami ajaran Islam dari Al-Qur’an dan hadits seseorang harus memiliki ilmu kebahasaan yang kuat. 

Perangkat kebahasaan ini yang memungkinkan agar mereka yang hendak memahami bahasa agama tidak mengandalkan pada makna lahiriyah dengan bersumber dari terjemahan. Bahasa agama, misalnya Al-Qur’an, memiliki keunikan tersendiri, misalnya penuh dengan kiasan, majaz ataupun materi lain yang disebutkan dalam kajian stilistika Arab (Balagha). Mengandalkan pada makna lahiriyah menjadi sebab sempitnya cara pandang seseorang, bahkan memantik lahirnya radikalisme sebab yang berbeda selalu dipandang salah.

Gerakan 'Ayo Mondok' yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh muda pesantren (baca: santri), harus didukung bersama. Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan didorong oleh kondisi sosial yang dihadapi bangsa saat ini. Misalnya, perilaku kelompok lain yang suka mengumbar paham dan tindakan radikal kepada umat cukup meresahkan masyarakat di berbagai tempat. Padahal, radikalisme sangat bertentangan dengan spirit luhur Islam sebagai agama penebar kerahmatan kepada penjuru dunia (rahmatan lil alamin).

Konsistensi Belajar 
Munculnya radikalisme salah satunya disebabkan pupusnya kemauan orang untuk terus belajar Islam dalam rangka memperbaiki keberislamannya. Kita sering menyaksikan, seseorang hanya belajar Islam beberapa tahun, bahkan beberapa bulan dari ustad tertentu atau dari “internet” sudah merasa hebat, alih-alih mengaku –termasuk dipromosikan menjadi-- ustad yang kerjaannya suka membid’ahkan atau mengkafirkan orang lain.

Dari sini, gerakan 'Ayo Mondok' menjadi penting untuk kembali mewujudkan tradisi kepesantrenan dalam soal memahami dan mempraktikkan Islam. Pertama, memahami Islam tidak bisa dilakukan dengan instan, butuh waktu yang lama. Tidak salah bila kiai-kiai sepuh pesantren selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya karena ingin mendalami kajian keislaman plus ngamrih keberkahan dari sang guru. Belum lagi, ketekunan mereka membaca beberapa literatur kitab kuning dari berbagai sumber dan pengarang yang berbeda.

Bisa dicontoh, bagaimana Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan kiai-kiai sepuh lainnya dikenal sebagai pencinta ilmu yang luar biasa. Pengembaraan mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman melampaui batas daerahnya, yakni dari satu pesantren ke pesantren lain hingga di antara mereka tercatat sebagai salah satu santri Nusantara di Hijaz (Arab Saudi). Efek dari kecintaan ini melahirkan pemahaman keislaman para kiai ini luar biasa dan tidak melupakan lokalitas, bahkan cenderung memberikan kesejukan pada umat di satu sisi dan tegas dalam melawan penjajahan di sisi yang berbeda.

Kedua, soal praktik keagamaan. Sebagai konsekuensi atas kedalaman ilmu serta didukung oleh semangat belajar tiada henti menciptakan praktik keagamaan masyakat santri tidak hitam-putih, alih-alih menggunakan kekerasan. Dalam banyak kasus, untuk merubah kemungkaran tidak harus menggunakan kekerasan, melainkan masyarakat diberikan alternatif pilihan agar lepas dari kemungkaran dengan suka rela, bukan dipaksakan.

Prinsip ini dalam literatur Qawaid Fiqhiyyah dikenal dengan kaedah al-dharar la yu zalu bi aldharar (kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan hadirnya kemudharatan yang lain). Keluesan praktik keagamaan adalah hasil dari kombinasi pengetahuan pesantren yang selalu melihat dari ragam perspektif, bukan satu perpektif, yakni kombinasi fiqih sufistik. Kecenderungan satu perspektif, apalagi sudah sampai pada batas merasa benar, memastikan seseorang kurang bisa menerima perbedaan hingga praktisnya cenderung bertindak radikal dan mudah menyalahkan.

Oleh karenanya, gerakan 'Ayo Mondok' yang diinisiasi oleh kaum muda pesantren dan NU harus ditempatkan dalam kerangka besar tersebut, yaitu kerangka besar agar umat Islam tidak berhenti belajar sehingga praktik keberislamannya dalam keseharian mampu mewujudkan visi kerahmatan. Di samping, "Silatnas Gerakan Ayo 2016" yang akan berlangsung Mei mendatang, harus menjadi momentum bersama bagi kalangan santri untuk terus “melek” dan membuka diri merespon perkembangan terkini agar santri bisa berbuat lebih banyak dalam kerangka besar membangun peradaban dunia yang damai. Semoga. 

Penulis adalah Koordinator Akademik Pesantren Mahasiswa UINSA Surabaya, Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur.
http://www.nu.or.id/post/read/67322/spirit-mondok-sebagai-strategi-tekan-radikalisme- 

Jumat, 13 Mei 2016

PROFIL PENGASUH PONDOK PESANTREN AL-LUQMANIYYAH

KH Najib Salimi
ABAH Najib Mamba’ul ‘Ulum adalah pengasuh pondok pesantren Al-Luqmaniyyah yang lahir pada tanggal 7 januari 1971, dari pasangan Romo KH Salimin dan Ibu Nyai Bunyanah. Semenjak kecil beliau telah dididik keras tentang agama oleh Romo KH. Salimi. Beliau mengenyam pendidikan formal hanya sampai SD, bahkan ijazahnya pun tidak diambil.
Setelah lulus SD Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum berangkat nyantri ke Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo. Pada waktu itu Pondok Pesantren diasuh oleh Romo KH. Abdurrahman Chudori setelah wafatnya KH. Chudori yang merupakan pendiri Pondok Pesantren API Tegalrejo. Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum Nyantri di Pondok Pesantren API Tegalrejo kurang lebih 15 tahun.
Semenjak nyantri di Tegalrejo beliau sudah gemar riyadloh (tirakat) diantaranya beliau mengamalkan puasa senin kamis, jama’ah, puasa daud, ngrowot dan lain sebagainya. Dan bahkan Abah Najib melaksanakan ngrowot sampai akhir hayat beliau. Beliau termasuk santri kinasih (kesayangan) Romo KH. Abdurrahman Chudori. Walaupun demikian beliau tidak lantas sekepenake dewe (seenaknya sendiri), beliau tetap tekun belajar dan mentaati peraturan-peratura Pondok Pesantrean yang berlaku.

Setelah boyong dari Pondok Pesantren API Tegalrejo, beliau mempersunting Ibu Nyai HJ. Siti Chamnah putri dari Romo KH. Chudlori Abdul Aziz Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Ngrukem Bantul Yogyakarta. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua orang putra yang ganteng-ganteng dan seorang putri yang cantik dan imut. Putra pertama beliau diberi nama Gus Muhammad Abdullah Falah, Putra yang kedua diberinama Gus Muhammad Alwi Masduq dan seorang putrinya yang diberi nama Ning ‘Abdah Iqtada.

Abah Najib diberi amanah oleh ayahanda beliau yaitu Romo KH. Salimi untuk mengasuh sebuah Pondok Pesantren yang terletak ditengah kota Yogyakarta yaitu di Jl. Babaran Gg. Cemani 759 P/UH V Kalangan Umbulharjo 55161. Pondok Pesantren Itu diberi nama Al-Luqmaniyyah karena dinisbatkan pada muasisnya (pendiri) yang bernama Bpk H. Luqman Jamal Hasibuan. Bpk H. Luqman Jamal Hasibuan mendirikan Pondok Pesantren tersebut atas rasa sukur yang telah diberikan oleh Allah SWT, berupa kesembuhan dari penyakit yang diderita beliau melalui lantaran Romo KH. Salimi, karena telah berbagai macam pengobatan telah beliau lakukan  namun tidak kunjung sembuh. Bpk H. Luqman Jamal Hasibuan memasrahkan Pondok Pesantren tersebut kepada Romo KH. Salimi untuk menjadi pengasuh, namun karea beliau telah memiliki Pondok Pesantren sendiri yaitu Pondok Pesantren As-Salimiyyah yang terletak di Cambahan Mlangi Sleman Yogyakarta, maka beliau mengamanahkan Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah tersebut kepada Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum untuk menjadi pengasuh. Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah diresmikan oleh Romo KH. Salimi pada tanggal 9 Februari 2000.

Dalam mengajar, beliau memilki metode yang berbeda disetiap tingkatan santrinya. Awalnya Basic Pondok Pesantre Al-Luqmaniyyah itu tentang fiqih tetapi ada kendala tentang mata pelajaran alat (nahwu), lalu akhirnya nahwu yang lebih ditekankan dan menjadi basic Pesantren sampi saat ini. Metode beliau yang dipakai setiap pelajaran berbeda-beda dari I’dadi sampai Tahtim. Metode yang digunakan dalam kelas alfiyah yaitu semua santri wajib belajar, presentasi ( bagi yang tidak presentasi juga wajib belajar karena akan ditunjk) dan runtut, sedangkan yang selain kelas alfiyah yaitu dengan diberi PR dan metodenya tidak runtut. Dapat diambil pelajaran bahwa beliau sangat memperhatikan proses belajar santri-santrinya.

Selain belajar, Abah Najib Juga mendidik para santri agar melakukan riyadloh (tirakat). Beliau menyuruh antri yang baru masuk pada saat sowan untuk tirakat seperti puasa senin kamis, membaca Al-Qur’an satu hari satu jus, ngrowot, ziarah, jama’ah dan lain sebagainya sesuai kemampuan para santri. Hal ini beliau lakukan agar kelak para santri mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah. Meskipun Pondok Al-Luqmaniyyah menyuruh santrinya tirakat tetapi proses pendidikan juga diperhatikan oleh beliau. Beliau selalu mengabsen para santri satu-persatu, sehingga antara tirakat dan pendidikan sejalan. Untuk beliau yang penting proses belajarnya.

Ciri khas dari Beliau Abah Naji adalah menganggap ngaji itu penting, tidak mudah meninggalkan mengajar didalam kelas. Apabila tidak bisa mengajar, beliau pasti sudah menyiapkan badal (pengganti) untuk mengajar. Untuk memberi hukuman kepada para santri, setidaknya beliau memarahi kalau tidak ngaji, dan disesuaikan tingkat pelanggaran santri, semisal ngantuk pada saat jam berlangsungnya pelajaran biasasnya akan dilempar dengan penghapus atau sepidol.

Dalam mendidik santrinya beliau menyuruh para santri untuk riyadloh, dapat menempatkan pada kehidupan sosial, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Beliau sangat faham dengan para santrinya meskipun sntri tidak mengetahuinya. Kepekaan batiniah beliau lebih kuat daripada lahiriahnya. Beliau ingi mencetak santri yang tahan banting supaya dalam masyarakat dapat menempatkan dirinya dan tidak mudah terpengaruh. Beliau juga tidak menginginkan kesuksesan santrinya itu didapat secara instan. Berbeda lagi ketika beliau mendidik putra-putrinya dan masyarakat. Ketika mendidik putra putrinya kadang keras, kadang dengan sangat kasih sayang (menuruti apa yang mereka inginkan kemudian diberi nasihat). Tuntutan mengaji tetap ada tetapi tidak sekeras kepada santrinya.

Sedangkan dalam masyarakat, beliau memberikan solusi dan ikut andil didalamnya. Bagi meeka yang sedng punya masalah, seperti ketika ada orang yang bertamu dan mengungkapkan kalu dia tidak mempunyai pekerjaan lalu beliau memberi modal kepada tamu tersebut. Beliau memberi kasih sayang yang lebih dan yang penting tamu terayomi.

Ada banyak riyadloh yang Abah Najib aksanakan sampai akhir hayat beliau, setidaknya ada lima  bentuk riyadloh yang terlihat secara kasat mata. Pertama istiqomah beliau dalam segala hal ibadah. Dijelaskan bahwa Abah Najib tudak pernah meninggalkan majelis malam selasa meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun. Beliau rela pulang hanya satu hari dari Kalimantan dalam rangka muktamar NU seluruh Indonesia dan kembali kesana lagi demi menghadiri rutinan majelis pengajian malam selasa.

Riyadloh kedua yang beliau lakukan ialah setiap malam beliau tidak pernah sare(tidur) sampa fajar tiba. Beliau selalu menerima tamu untuk mengobrol dan diskusi hingga fajar. Ketiga beliau selalu menghormati dan memuliyakan tamu yang berkunjung pada beliau tanpa membeda-bedakannya, bahkan setiap tamu pasti disuruh untuk dahar (makan). Keempat beliau selalu ziarah kemakam-makam Aulia’ pada hari-hari tertentu dan mengajak sebagian jemaah untuk ikut beliau. Dan yang terakhir Abah Najib masih ngrowot (tidak makan nasi) hingga akhir hayat beliau.

Ada empat wasiat yang beliau amanahkan sebelum beliau kembali kerahmat Allah. Pertama penerus Pondok Pesantran Al-Luqmaniyyah adalah putra pertama beliau yaitu Gus Muhammad Abdullah Falah dibantu oleh keluarga. Pada waktu itu Gus Muhammad Abdullah Falah baru berusia sebelas tahun (kelas 5 SD). Karena belum memungkinkan untuk menjadi pengasuh, maka pengasuh Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah sekarang dipegang oleh Ibu Nyai HJ. Chamnah Najib dibantu oleh keluarga.

Kedua, teruskan dan istiqomahkan majelis pengajian jamaah malam selasa. Sekarang pengajian malam selasa tersebut dipimpin oleh Kyai Nasiin dan Kyai Nur Charis. Beliau berdua merupakan kakak dan adik dari Al-Marhum Al-Maghfurllah KH.Najib Mamba’ul ‘Ulum alhamdulillah juga dibantu oleh Romo KH. Chudori Abdu Aziz yang merupakan moro sepah beliau (mertua). Majelis pengajian malem selasa tersebut alhamdulillah masih diistiqomahkan sampai sekarang dan insyallah akan terus diistiqomahkan seperti pesan wasiat beliau.

Wasiat yang ketiga ialah santri-santri Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah harus tetap meneruskan kegiatan Pondok Pesantren seperti biasa. Dan wasiat yang terakhir beliau teruskan dan istiqomahkan kegiatan rutinan maupun awrod (wirid-wirid) yang sudah dirintis dan dijalankan. Itulah empat wasiat yang sampaikan beliau pada saat beliau dirawat di RS PKU Muhammadiyyah Yogyakarta.

Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum mengalami kecelakaan Dikabupaten Kudus pada saat ziarah Waliyaullah ke Jawa Tengah. Beliau dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyyah Yogyakarta selama empat hari. Dan beliau kembali kerahmatallah setelah melaksanakan operasi pada mustoko (kepala) beliau. Abah Najib Mamba’uk ‘Ulum wafat pada tanzulqo’dah 1432 H. Semua keluarga, santri, jamaah dan tamu tidak enyangka akan secepat itu akan dipangil Allah karena setelah dioperasi beliau terlihat segar bugar dan sehat, bahkan beliau sampai menghabiskan satu setengah buah apel dan beliau juga meminta rokok. Namun karena ruangan ber-AC maka beliau urungkan niat beliau untuk merokok. Dan beliau juga sempat memeluk Gus Falah dan Gus Masduq disisi kanan dn sisi kiri beliau.

Beliau Al-Marhum Al-Maghfurllah Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum dimakamkan dikomplek pemakaman Cambahan Mlangi Kabupaten Sleman Yogyakarta. Semoga beliau diberi tempat yang paling mulia sisisi Allah Subhanahu WA Ta’ala dan semoga kami semua warga Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah diberi kekuatan dan keistiqomahan oleh Allah dalam melaksanakan wasiat beliau Abah Najib Mamba’ul ‘Ulum . Amien-Amien Ya Robbal ’Alamin