Sulit terbantahkan kesimpulan yang menyebutkan bahwa institusi
pesantren cukup besar kontribusinya dalam mewarnai perjalanan kehidupan
beragama dan berbangsa di negeri ini. Pasalnya, lembaga yang ada cukup
lama mengiringi perkembangan Islam di Indonesia telah memberikan nuansa
cara pandang tertentu umat Islam dalam memahami agamanya di tengah
kehidupan masyarakat yang majemuk, dan karakternya berbeda dengan
masyarakat Arab sebagai tempat kelahiran Islam.
Untuk
itu, mengabaikan peran kultur pesantren dalam kehidupan berbangsa dan
beragama sama dengan melupakan sejarah. Lupa atas sejarahnya sendiri
niscaya menjadi sebab seseorang akan kehilangan identitasnya. Akibatnya,
seseorang akan lebih senang nilai-nilai lain yang beda, bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai kultural yang telah dititahkan oleh para
pendiri bangsa, yakni titah yang mampu menciptakan harmoni antara
nilai-nilai normatif Islam dengan visi kebangsaan seperti penerimaan
atas Pancasila.
Bila dikaitkan dengan hal ini,
maka masih maraknya pandangan dan sikap radikal dipastikan bagian dari
usaha mengabaikan –bahkan melupakan—peran-peran pesantren yang cukup
lama membumikan visi keislaman yang moderat dan toleran di negeri ini.
Parahnya, kelompok-kelompok radikal ini dengan mudah belajar Islam
dengan seenaknya dan dengan cara-cara yang serba instan. Padahal, untuk
memahami ajaran Islam dari Al-Qur’an dan hadits seseorang harus memiliki
ilmu kebahasaan yang kuat.
Perangkat
kebahasaan ini yang memungkinkan agar mereka yang hendak memahami bahasa
agama tidak mengandalkan pada makna lahiriyah dengan bersumber dari
terjemahan. Bahasa agama, misalnya Al-Qur’an, memiliki keunikan
tersendiri, misalnya penuh dengan kiasan, majaz ataupun materi lain yang
disebutkan dalam kajian stilistika Arab (Balagha).
Mengandalkan pada makna lahiriyah menjadi sebab sempitnya cara pandang
seseorang, bahkan memantik lahirnya radikalisme sebab yang berbeda
selalu dipandang salah.
Gerakan 'Ayo Mondok'
yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh muda pesantren (baca: santri), harus
didukung bersama. Gerakan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan didorong
oleh kondisi sosial yang dihadapi bangsa saat ini. Misalnya, perilaku
kelompok lain yang suka mengumbar paham dan tindakan radikal kepada umat
cukup meresahkan masyarakat di berbagai tempat. Padahal, radikalisme
sangat bertentangan dengan spirit luhur Islam sebagai agama penebar
kerahmatan kepada penjuru dunia (rahmatan lil alamin).
Konsistensi Belajar
Munculnya
radikalisme salah satunya disebabkan pupusnya kemauan orang untuk terus
belajar Islam dalam rangka memperbaiki keberislamannya. Kita sering
menyaksikan, seseorang hanya belajar Islam beberapa tahun, bahkan
beberapa bulan dari ustad tertentu atau dari “internet” sudah merasa
hebat, alih-alih mengaku –termasuk dipromosikan menjadi-- ustad yang
kerjaannya suka membid’ahkan atau mengkafirkan orang lain.
Dari
sini, gerakan 'Ayo Mondok' menjadi penting untuk kembali mewujudkan
tradisi kepesantrenan dalam soal memahami dan mempraktikkan Islam.
Pertama, memahami Islam tidak bisa dilakukan dengan instan, butuh waktu
yang lama. Tidak salah bila kiai-kiai sepuh pesantren selalu
berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya karena
ingin mendalami kajian keislaman plus ngamrih
keberkahan dari sang guru. Belum lagi, ketekunan mereka membaca
beberapa literatur kitab kuning dari berbagai sumber dan pengarang yang
berbeda.
Bisa dicontoh, bagaimana Syaikhona
Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan
kiai-kiai sepuh lainnya dikenal sebagai pencinta ilmu yang luar biasa.
Pengembaraan mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman melampaui batas
daerahnya, yakni dari satu pesantren ke pesantren lain hingga di antara
mereka tercatat sebagai salah satu santri Nusantara di Hijaz (Arab
Saudi). Efek dari kecintaan ini melahirkan pemahaman keislaman para kiai
ini luar biasa dan tidak melupakan lokalitas, bahkan cenderung
memberikan kesejukan pada umat di satu sisi dan tegas dalam melawan
penjajahan di sisi yang berbeda.
Kedua, soal
praktik keagamaan. Sebagai konsekuensi atas kedalaman ilmu serta
didukung oleh semangat belajar tiada henti menciptakan praktik keagamaan
masyakat santri tidak hitam-putih, alih-alih menggunakan kekerasan.
Dalam banyak kasus, untuk merubah kemungkaran tidak harus menggunakan
kekerasan, melainkan masyarakat diberikan alternatif pilihan agar lepas
dari kemungkaran dengan suka rela, bukan dipaksakan.
Prinsip ini dalam literatur Qawaid Fiqhiyyah dikenal dengan kaedah al-dharar la yu zalu bi aldharar
(kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan hadirnya kemudharatan yang
lain). Keluesan praktik keagamaan adalah hasil dari kombinasi
pengetahuan pesantren yang selalu melihat dari ragam perspektif, bukan
satu perpektif, yakni kombinasi fiqih sufistik. Kecenderungan satu
perspektif, apalagi sudah sampai pada batas merasa benar, memastikan
seseorang kurang bisa menerima perbedaan hingga praktisnya cenderung
bertindak radikal dan mudah menyalahkan.
Oleh
karenanya, gerakan 'Ayo Mondok' yang diinisiasi oleh kaum muda pesantren
dan NU harus ditempatkan dalam kerangka besar tersebut, yaitu kerangka
besar agar umat Islam tidak berhenti belajar sehingga praktik
keberislamannya dalam keseharian mampu mewujudkan visi kerahmatan. Di
samping, "Silatnas Gerakan Ayo 2016" yang akan berlangsung Mei
mendatang, harus menjadi momentum bersama bagi kalangan santri untuk
terus “melek” dan membuka diri merespon perkembangan terkini agar santri
bisa berbuat lebih banyak dalam kerangka besar membangun peradaban
dunia yang damai. Semoga.
http://www.nu.or.id/post/read/67322/spirit-mondok-sebagai-strategi-tekan-radikalisme-